Sektor Pertambangan Melemah Penyebab Lesunya Penjualan HINO Kelas Berat
OTOExpo.com – Perang dagang antara Amerika Serikat dan China diduga menjadi penyebab lesunya sektor pertambangan. Lesunya sektor pertambangan ini secara tidak langsung turut mempengaruhi pasr truk kelas berat.
Indeks sektor pertambangan (mining) menjadi salah satu penjegal langkah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sepanjang 2019. Indeks sektor pertambangan tumbuh negatif 12,83%.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan indeks sektor ini tumbuh negatif. Analis Henan Putihrai Sekuritas Liza Camelia Suryanata menilai, anjloknya kinerja indeks sektor pertambangan tidak bisa lepas dari turunnya harga batubara sepanjang 2019.
Dampak nya penjualan truk Heavy Duty Truck (HDT) mengalami penurunan.
Direktur Penjualan dan Promosi Hino Motors Sales Indonesia (HMSI) Santiko Wardoyo mengatakan, kondisi yang tidak bagus di sektor tambang, khususnya tambang batubara mengakibatkan penjualan truk Hino menurun.
Penurunannya pun hingga 16,5 persen.
Menurutnya, Sebagai pemain truk terkemuka di Indonesia, permintaan Truk Hino kelas berat lebih banyak berasal dari sektor pertambangan, khususnya pertambangan batu bara di wilayah Kalimantan dan juga Sumatera.
Permintaan truk kelas berat di kedua wilayah itu cukup tinggi. “Biasanya sekitar 80 persen hingga 90 persen permintaan truk HDT berasal dari wilayah tersebut,” ungkapnya.
Melihat lesunya sektor pertambangan tersebut, HINO tidak dapat berbuat banyak. “Selama perang dagang masih berlanjut, penjualan truk kelas berat pasti mengalami penurunan.” katanya lagi.
Berdasarkan hal tersebut, PT. Hino Motor Sales Indonesia (HMSI) merasa kondisi pasar saat ini masih berat, permintaan akan truk kelas berat tidak bergairah, untuk itu hingga akhir tahun 2019 ini Hino tidak mau berharap terlalu banyak.
Sikapnya menunjukkan Hino cenderung mengambil langkah wait and see hingga keadaan pasar kembali normal.
kondisi sektor pertambangan kini diperparah dengan peraturan pemerintah soal ekspor mineral.
“Sekarang tidak bisa lagi ekspor mentah. Harus ada smealter terlebih dulu,” kata Irwan saat ditemui di Jakarta Selatan, Selasa.
Akibatnya, pengusaha pertambangan mineral menghentikan sementara produksi mineralnya. Menurut Sales Promotion Director PT Hino Motors Sales Indonesia (HMSI), Santiko Wardoyo, untuk pertambangan batu bara tidak seburuk mineral.
“Untuk pemain-pemain besar masih berjalan. Jadi permintaan spare part, perawatan, dan unit masih berjalan,” katanya saat ditemui dikesempatan yang sama.
Untuk menyiasati hal tersebut, Santiko menyebutkan bahwa pihaknya mengatasi turunnya sektor pertambangan dengan fokus pada sektor kargo.
“Sebelumnya, sektor pertambangan kontribusi 50 persen. Tapi turun hingga jadi 35 persen saja,” katanya.
Sektor jasa kargo terutama consumer goods menurutnya bahkan bisa memberikan kontribusi hingga 50 persen.
“Karena, seperti sektor makanan yang butuh jasa kargo atau distribusi itu tidak akan turun. Naik terus,” katanya.
Tidak hanya itu, beberapa model truknya juga bisa digunakan untuk sektor pembangunan infrastruktur seperti jalanan.
Sementara untuk sektor tambang lainnya seperti logam nikel masih cenderung stabil ketimbang sektor tambang seperti batu bara. Selain itu, komoditas sawit pun juga terbilang lesu lantaran adanya fenomena El Nino yang membuat panen kian sulit dan mempengaruhi pengangkutan.
Pada 2019 harga batu bara termal Newcastle (6.000 Kcal/Kg) anjlok lebih dari 30%. Emiten yang memiliki portofolio produk batu bara berkalori tinggi seperti PT Indo Tambang Raya Megah Tbk (ITMG) merasakan benar dampak dari pelemahan harga batu bara berkalori tinggi.
Di sepanjang tahun 2019, ITMG mencatatkan penurunan ASP sebesar 20,1% (yoy), sehingga membukukan penurunan pendapatan total sebesar 14,5% (yoy).
Walau ASP emiten batu bara pelat merah yakni PT Bukit Asam Tbk (PTBA) membukukan penurunan, tetapi peningkatan volume penjualan mengakibatkan kenaikan pendapatan (+2,9% yoy).
Penurunan pendapatan yang dialami oleh sektor batu bara RI ternyata tidak dibarengi dengan penurunan biaya produksinya. Malah pos ini membengkak, sehingga berakibat pada tergerusnya margin perusahaan.
Laba bersih dari emiten pertambangan batu bara Tanah Air di tahun 2019 anjlok drastis. Bahkan ada yang anjlok hingga lebih dari 100%. Pelemahan harga batu bara yang terjadi pada 2019 memicu perusahaan untuk melakukan efisiensi operasi.